Selalu, kalimat pertama yang kutulisan di blog legendarisku ini adalah "Betapa usangnya blog ini. Banyak sarang laba-labanya". Saking nggak pernah kesentuh hahahaha :D
Saat ini, aku berada di titik paling bawah untuk derajat seorang manusia berumur 23 tahun. Bayangkan jika diri kalian seperti diriku saat ini. Tanpa pekerjaan, tanpa prestasi, tanpa perubahan signifikan dalam diri, tanpa semangat, tanpa uang, tanpa perencanaan ke depan, tanpa kejelasan hidup, tanpa cinta, tanpa harapan, tanpa kesempatan, tanpa langkah penuh semangat, tanpa air mata, tanpa tawa, tanpa kebahagiaan, tanpa kemampuan menembus batas, dan segala bentuk ke-tanpaan lain yang menumpuk.
Sampai detik ini, apa yang kupunya?
Buku? Nggak kebaca
Modul kursus? Bahasa Inggris, bahasa jerman, bahasa jepang? Nggak kesentuh sama sekali. Ngulang materi aja nggak pernah
Laptop ? Cuma buat nonton film, ngetik-ngetik nggak jelas, liat youtube, dan segala hal nggak jelas lain
Handphone ? HP 2 tapi nggak produktif semua, cuma buat seneng-senengan
Channel YouTube ? punya 3 nggak jelas semua orientasinya, update jarang, video yang dibiin nggak bermutu, cuap cuap thok
Sepeda Motor ? Halah cuma buat ke mana sih? paling buat keluar jalan-jalan
Radio Online ? Radio opo, nggak ada yang ndengerin gitu.. bisa ngarepin ada dari radiomu iku
Ijazah S1 ? Halah cuma tergeletak tak berdaya.. kerjaanmu sekarang tetep nggak jelas
And so on.
Sadar tak sadar, memang aku ini orang yang terlalu gila. Memiliki mimpi yang sangat tinggi namun tak berusaha untuk meraih mimpi-mimpi itu. Cita-citaku yang sangat tinggi, hanya kupupuk dengan main gitar, tiduran di kamar, nonton film, makan, jalan-jalan, chattingan terus... alah.. sungguh nyaman hidup ini, tapi sungguh pahit kenyataan ini. Aku lupa kalau Pak Jokowi bisa jadi Presiden Indonesia ke-7 itu bukan hal yang tiba-tiba. Beliau pasti telah merencanakannya.
Seorang kawan pernah menamparku dengan kata-katanya setelah mendengar ribuan jawabanku tentang segala yang kuhadapi saat ini. Ia berkata, "Nggak usah ngomong kuliah di luar negeri kamu kalau hal-hal yang berkaitan sama kuliah masih belum kamu urus". Tamparannya begitu keras hingga membekas sampai sekarang. Yang jadi masalah adalah bekas tamparan itu tak kunjung membuatku sadar akan langkah yang harus kuambil dengan segera.
Yang bisa kulakukan sekarang adalah mencari cara untuk meningkatkan skill bahasaku agar aku bisa segera kuliah S2 di luar negeri. Aku juga berusaha mencari-cari info beasiswa yang sekiranya dapat menyokong kebutuhanku dalam menimba ilmu di perantauan.
Saat ini aku benar-benar menjalani kenyataan pahit bahwa di umur yang semakin bertambah ini aku belum melakukan apa-apa. Pahit karena saat kawan-kawanku telah menempuh studi masternya, sedangkan aku masih duduk termenung di sini. Pahit saat melihat kawan-kawan telah berhasil dan mampu menyempurnakan separuh agamanya, sedangkan aku masih saja bergelut dengan diriku sendiri yang tak kunjung memikirkan untuk penyempurnaan separuh agama. Pahit di saat kawan-kawanku telah mampu membiayai hidup mereka sendiri, sedangkan tiap nafasku sampai detik ini masih mengandung jerih payah orang tua. Maka, bisa kukatakan bahwa situasi diriku saat ini adalah situasi paling hina yang pernah kualami. Keinginan untuk mengejar pendidikan tinggi, berpenghasilan sendiri, menyempurnakan separuh agama, berkiprah di masyarakat, hanyalah sebatas keinginan. Aku yang hanya bisa membual ini hanya akan terus membual, karena yang bisa kulakukan hanya menunggu pintu terbuka tanpa berusaha membuka pintu tersebut.
Apa yang terjadi biarlah terjadi. Aku sudah terlanjur seperti ini. Bahkan lebih hina dari seonggok daging yang terbuang di pinggir jalan. Lebih hina dari tumpukan sampah yang bau menyengatnya merugikan orang banyak. Lebih hina dari kotoran yang selalu berusaha untuk dimusnahkan.
Saat ini, aku berada di titik paling bawah untuk derajat seorang manusia berumur 23 tahun. Bayangkan jika diri kalian seperti diriku saat ini. Tanpa pekerjaan, tanpa prestasi, tanpa perubahan signifikan dalam diri, tanpa semangat, tanpa uang, tanpa perencanaan ke depan, tanpa kejelasan hidup, tanpa cinta, tanpa harapan, tanpa kesempatan, tanpa langkah penuh semangat, tanpa air mata, tanpa tawa, tanpa kebahagiaan, tanpa kemampuan menembus batas, dan segala bentuk ke-tanpaan lain yang menumpuk.
Sampai detik ini, apa yang kupunya?
Buku? Nggak kebaca
Modul kursus? Bahasa Inggris, bahasa jerman, bahasa jepang? Nggak kesentuh sama sekali. Ngulang materi aja nggak pernah
Laptop ? Cuma buat nonton film, ngetik-ngetik nggak jelas, liat youtube, dan segala hal nggak jelas lain
Handphone ? HP 2 tapi nggak produktif semua, cuma buat seneng-senengan
Channel YouTube ? punya 3 nggak jelas semua orientasinya, update jarang, video yang dibiin nggak bermutu, cuap cuap thok
Sepeda Motor ? Halah cuma buat ke mana sih? paling buat keluar jalan-jalan
Radio Online ? Radio opo, nggak ada yang ndengerin gitu.. bisa ngarepin ada dari radiomu iku
Ijazah S1 ? Halah cuma tergeletak tak berdaya.. kerjaanmu sekarang tetep nggak jelas
And so on.
Sadar tak sadar, memang aku ini orang yang terlalu gila. Memiliki mimpi yang sangat tinggi namun tak berusaha untuk meraih mimpi-mimpi itu. Cita-citaku yang sangat tinggi, hanya kupupuk dengan main gitar, tiduran di kamar, nonton film, makan, jalan-jalan, chattingan terus... alah.. sungguh nyaman hidup ini, tapi sungguh pahit kenyataan ini. Aku lupa kalau Pak Jokowi bisa jadi Presiden Indonesia ke-7 itu bukan hal yang tiba-tiba. Beliau pasti telah merencanakannya.
Seorang kawan pernah menamparku dengan kata-katanya setelah mendengar ribuan jawabanku tentang segala yang kuhadapi saat ini. Ia berkata, "Nggak usah ngomong kuliah di luar negeri kamu kalau hal-hal yang berkaitan sama kuliah masih belum kamu urus". Tamparannya begitu keras hingga membekas sampai sekarang. Yang jadi masalah adalah bekas tamparan itu tak kunjung membuatku sadar akan langkah yang harus kuambil dengan segera.
Yang bisa kulakukan sekarang adalah mencari cara untuk meningkatkan skill bahasaku agar aku bisa segera kuliah S2 di luar negeri. Aku juga berusaha mencari-cari info beasiswa yang sekiranya dapat menyokong kebutuhanku dalam menimba ilmu di perantauan.
Saat ini aku benar-benar menjalani kenyataan pahit bahwa di umur yang semakin bertambah ini aku belum melakukan apa-apa. Pahit karena saat kawan-kawanku telah menempuh studi masternya, sedangkan aku masih duduk termenung di sini. Pahit saat melihat kawan-kawan telah berhasil dan mampu menyempurnakan separuh agamanya, sedangkan aku masih saja bergelut dengan diriku sendiri yang tak kunjung memikirkan untuk penyempurnaan separuh agama. Pahit di saat kawan-kawanku telah mampu membiayai hidup mereka sendiri, sedangkan tiap nafasku sampai detik ini masih mengandung jerih payah orang tua. Maka, bisa kukatakan bahwa situasi diriku saat ini adalah situasi paling hina yang pernah kualami. Keinginan untuk mengejar pendidikan tinggi, berpenghasilan sendiri, menyempurnakan separuh agama, berkiprah di masyarakat, hanyalah sebatas keinginan. Aku yang hanya bisa membual ini hanya akan terus membual, karena yang bisa kulakukan hanya menunggu pintu terbuka tanpa berusaha membuka pintu tersebut.
Apa yang terjadi biarlah terjadi. Aku sudah terlanjur seperti ini. Bahkan lebih hina dari seonggok daging yang terbuang di pinggir jalan. Lebih hina dari tumpukan sampah yang bau menyengatnya merugikan orang banyak. Lebih hina dari kotoran yang selalu berusaha untuk dimusnahkan.
Komentar
Posting Komentar
Komentarin ya! Saya seneng banget kalau dikomentarin. Terima Kasih :)