IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

Perihnya Kuliah di Luar Negeri dengan Biaya Sendiri



"Dasar pemalas! Tidak bersyukur! Baru begitu saja sudah mengeluh! Kamu memang bisanya hanya mengeluh!"

Mungkin perkataan di atas akan muncul di benak anda usai membaca tulisan saya ini.

Sudah tiga tahun berlalu. Rasanya semakin hari semakin kepikiran. Tiga tahun sudah saya lalui sebagai mahasiswa master. Cobaan berat datang bertubi-tubi, bahkan sebelum berangkat kuliah.

Keinginan untuk kuliah di luar negeri sudah ada sejak dulu. Mulai saya seriusi niat itu saat menjelang studi S-1 saya usai. Tepatnya di akhir-akhir tahun 2016. Mulailah saya cari referensi kampus-kampus di luar negeri. Cita-cita utama saya saat itu adalah kuliah di Jerman atau di UK. Mimpi boleh tinggi, tapi saya harus tahu diri.

Pencarian ini berlangsung sampai 2019. Saat teman-teman seangkatan bahkan adik tingkat saya mulai menjalani studi lanjutnya, saya masih tertinggal. Teringat saat itu, tahun 2017, saya mulai menjalani kursus bahasa Inggris dengan pengalaman seadanya serta bekal uang secukupnya dari orang tua. Saat itu, saya sudah sadar bahwa mungkin lebih baik kerja dulu saja. Setelah dapat uang, saya pakai untuk kursus. Sudah terlalu banyak saya merepotkan orang tua, apalagi untuk sekadar kursus begini. Tapi, mau bagaimana lagi. Saya belum punya pekerjaan tetap, orang tua juga masih merasa mampu membiayai, jadi, bismillah dijalani saja. 

Kursus itu saya jalani di Kampung Inggris Pare Kediri. Awalnya, untuk pergi ke sana, saya menggunakan bus. Lalu, selang beberapa minggu, saya putuskan untuk pulang ke rumah, dan kembali ke Pare dengan menggunakan sepeda motor saja. Semua itu demi fleksibilitas dan hemat biaya transportasi. 

Perjalanan belajar bahasa Inggris bukan hal yang mudah. Tadinya, saya mengira bahwa belajar selama 3 bulan saja sudah sangat cukup. Ternyata, saya harus menempuh total hampir setahun. 3 bulan di lembaga kursus bernama Elfast di Kampung Inggris Pare Kediri, 3 bulan di English First di Malang, 3 bulan lagi di Global English di Kampung Inggris Pare Kediri (dengan biaya dari beasiswa Muhammadiyah Scholarship Preparation Program batch 2), kemudian 1 bulan di Royal English Malang, lalu sempat mengambil kelas scoring IELTS dua kali di Global English juga (kalau dijumlah jadinya 1 bulan). Dan, jika digabungkan, jelas hampir setahun. Belum lagi ditambah dengan jeda waktu yang ada saja aktivitasnya,baik di rumah maupun di organisasi. Usai kursus, saya masih saja harus belajar sedikit demi sedikit agar yang sudah dipelajari tak hilang begitu saja ditelan waktu.

Atas izin Allah, saya telah menjalani beberapa tes. Saat belajar IELTS di Global pada tahun 2018, saya pernah mencoba untuk tes TOEFL ITP bersama beberapa kawan. Tujuannya agar kami bisa mendaftar beasiswa Australian Awards Scholarship (AAS). Alhamdulillah skor yang saya dapat adalah 510, meskipun agak nanggung, karena syarat AAS adalah minimal skor 525. Saya juga sudah tes IELTS, bahkan sebanyak 3 kali dengan skor yang masih segitu-segitu saja. Awalnya saya dapat 5.5. Tes kedua menghasilkan skor 6.0. Tes ketiga, hasilnya sama dengan yang kedua. Semua tes tersebut lagi-lagi juga dengan bantuan biaya dari orang tua.

Dengan skor 6.0 tersebut, kandaslah harapan saya untuk bisa mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri. Beasiswa yang saya temui, mensyaratkan untuk mempunyai skor IELTS minimal 6.5. Terlebih lagi kebanyakan kampus di luar negeri, juga di luar ASEAN (kecuali Singapore), juga mengharuskan calon mahasiswa memiliki paling tidak skor IELTS 6.5. Semakin putus asalah saya. Ditambah lagi, lingkungan semakin mempertanyakan kondisi saya yang tak kunjung berangkat kuliah di luar negeri.

Orang-orang pikir, persiapan kuliah di luar negeri itu mudah. Padahal rasanya benar-benar harus berjuang. Ada yang selalu mempertanyakan, ada pula yang menyalahkan masa lalu saya yang terlalu aktif di organisasi kemahasiswaan. Situasi ini membuat saya secara psikis semakin terdesak. Mau tidak mau, saya harus mencari kampus untuk segera kuliah master.

Setelah pencarian panjang, ketemulah dengan Masaryk University di Czech Republic (Republik Ceko). Kampus ini menyediakan jurusan Cultural Sociology dan mensyaratkan IELTS cukup 6.0 saja. Setelah apply dan membayar registrasi, saya isi form. Sekitar seminggu atau 2 minggu kemudian, saya dikontak pihak fakultas untuk mempersiapkan diri melakukan wawancara online melalui Skype. Singkat cerita, wawancara saya jalani dengan berbahasa Inggris, saya lakukan sebisa saya dengan bahasa Inggris pas pasan, lalu pasrah. Ternyata, hasilnya, saya lolos dan mendapat LoA Unconditional. Senangnyaaa bukan main! LoA itu dikirim langsung ke rumah saya melalui pos. Rasanya bangga banget karena mendapatkan amplop langsung dari Republik Ceko berisi LoA dan dokumen lain. Sebetulnya, di saat yang sama, saya telah melalui proses masuk mahasiswa S-2 di UNAIR dan juga diterima. Sungguh dilema, antara gembira atau bingung. Melihat hal ini, orang tua saya mengharapkan agar saya bisa memilih salah satu. Lalu saya putuskan untuk melepas S-2 UNAIR. Sayangnya, kawan-kawan saya yang waktu itu sama-sama lolos, sekarang sudah lulus semua, sedangkan saya masih terkurung di lingkaran thesis yang tak kunjung usai.

Setelah melalui beberapa proses, saya coba selesaikan proses pendaftaran, termasuk harus menyiapkan visa. Saya bahkan sudah mendapat 1 orang buddy dan juga memesan 1 bilik/kamar di asrama mahasiswa. Dalam proses pengurusan visa, saya terganjal oleh kemungkinan biaya SPP yang besar, karena Masaryk University tidak menyediakan beasiswa untuk program yang saya ambil. Mungkin sekitar 200jutaan. Setelah berdiskusi dengan orang tua, timbul ide aneh dalam pikiran saya. 

Ide aneh itu adalah, apakah mungkin jika saya sebagai alumni Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), mengajukan beasiswa kuliah di luar negeri dengan niat saya kembali untuk mengabdi pada UMM. Memang, sudah dari sejak mahasiswa, saya bercita-cita untuk menjadi dosen di Sosiologi UMM. Saya tidak tahu harus menanyakan ini kepada siapa, maka dengan modal nekat dan insting, saya putuskan untuk menyampaikan maksud saya ke wakil rektor 1 UMM. 

Setelah melalui beberapa prosedur, saya akhirnya bisa bertemu beliau di kantornya. Usai mengutarakan maksud, beliau menanggapi dengan antusias. Namun, beliau mengatakan bahwa beasiswa yang seperti saya maksud itu tidak ada di UMM. Kemudian, beliau menawarkan saya untuk ikut skema talent scouting, yaitu UMM menerima alumni yang berprestasi (dalam hal ini, kuliah di luar negeri), dan mendaftar sebagai dosen dulu. Lamaran dan LoA bisa diserahkan ke beliau, lalu didisposisi ke bagian kepegawaian. Saya antara bingung dan kaget. Bagi saya ini merupakan tawaran yang sangat bagus, tapi saya khawatir salah langkah. Tapi ya sudahlah, saya akhirnya mengiyakan dan menyanggupi untuk mengumpulkan berkas lamaran kerja serta print scan LoA Masaryk University ke beliau. Besok lusanya, berkas-berkas itu benar-benar saya kumpulkan ke beliau dan didisposisi ke bagian kepegawaian. 

Proses visa masih saya lakukan dengan harus bolak balik Malang-Jakarta. Kedutaan Ceko hanya ada di Jakarta sehingga saya harus sering ke sana dan bahkan tinggal selama 2 minggu. Suatu sore ketika saya masih proses legalisasi berkas di Jakarta, ada email masuk yang menyatakan saya lolos administrasi perekrutan dosen UMM. Terkejut bukan main. Saya sampaikan ke orang tua dan sore itu juga saya memesan tiket kereta api untuk pulang ke Malang. Di tanggal yang ditentukan, saya ikuti prosedur tes selanjutnya seperti wawancara, micro teaching dan lain-lain. Saat itu, rasanya saya sudah insecure duluan, mengingat para calon dosen ini adalah alumni S2 dan S3, bahkan banyak alumni luar negeri. Saya hanya bisa pasrah. Kemudian, hasil tes menyatakan bahwa saya lolos. Bulan Maret menjadi awal saya ngantor di Prodi Sosiologi UMM setelah sowan ke Bapak Ibu dekanat dan Bapak Kaprodi. 

Nahas, ternyata visa saya ke Ceko ditolak. Deposit yang saya ajukan ternyata kurang. Mungkin saya salah baca informasi. Sepaham saya waktu itu, depositnya sekitar 50jutaan, bahkan ayah saya lebihin sampai 80 juta. Ternyata kurang. Ya sudah. Untuk mengurus administrasi dari awal lagi rasanya akan buang-buang waktu. Saya ajukan cancel ke pihak fakultas di Masaryk University dan dikabulkan. Bayangan saya untuk studi di Eropa telah sirna. Orang-orang di sekitar saya ikut terkejut. Mereka ada yang menaruh simpati dan terus menyemangati, ada juga yang mempertanyakan dan menggunjing ke sana kemari. Situasi kembali membuat psikis saya tertekan. Tak ada jalan lain selain mencoba mendaftar lagi di kampus-kampus yang bisa dijangkau dengan IELTS 6.0. Hanya ini senjata saya.

Setelah melalui perjalanan panjang, saya akhirnya terdaftar sebagai mahasiswa master di Universiti Sains Malaysia (USM). Perkuliahan di USM saya jalani juga dengan biaya dari orang tua. Lagi-lagi saya merasa sungkan. Untuk kesekian kalinya saya merepotkan orang tua, bahkan dengan biaya yang cukup besar. SPP per semesternya adalah sekita 15juta rupiah. Belum lagi biaya hidup dan keperluan lain yang biayanya tidak sedikit.

Keperluan biaya ini sangat menjadi perhatian dan memiliki ruang khusus dalam pikiran. Saat itu, sesekali saya coba untuk browsing kira-kira kerja sampingan apa yang bisa saya lakukan agar saya bisa meringankan beban ornag tua. Pegangan saya waktu itu adalah biaya orang tua dan gaji dari UMM. Gaji UMM masih bisa saya simpan karena ada pegangan uang dari orang tua tersebut. Saya hanya khawatir, nanti kalau uang pegangan sudah habis, masa iya saya harus meminta lagi? Yah, pada akhirnya saya tetap minta lagi ke orang tua.

Suatu ketika, di pertengahan 2020, dosen pembimbing memberikan penawaran kepada saya untuk menjadi asisten penelitian beliau. Gaji yang akan saya terima adalah kira-kira cukuplah untuk kebutuhan sehari-hari dan dibayar setiap hari jum'at. Saya bersyukur karena saya jadi jarang minta sama orang tua meskipun untuk biaya asrama saya tetap minta beliau-beliau. Hal ini terus berlanjut hingga saya beberapa kali berada di titik yang sangat rendah. Saat di mana studi tak kunjung terurus, namun harus tetap menjalankan asistensi, juga aktif menjalankan kegiatan volunteerism, ditambah lagi UMM semakin menunggu tuntasnya studi saya dan orang tua serta kerabat mulai sering mempertanyakan, plus saya juga perlu banyak biaya untuk ini dan itu, namun masih saja sungkan untuk meminta uang kepada orang tua. Situasi itu membayang-bayangi di dalam pikiran dan hati. Lalu semakin lama semakin memuncak, di saat itulah, air mata ini mengalir tak terbendung lagi. Saya menangis, benar-benar menangis sesenggukan, sambil meringkuk di atas kasur di kamar. Jika saya tak kuat iman, mungkin hidup ini sudah saya akhiri sendiri. Saat ini, kegiatan volunteerism berkurang dan saya tak lagi menjadi asisten. Saya merasa ada sedikit kelonggaran.

Saya cukup jera untuk memaksakan kuliah di luar negeri dengan biaya sendiri atau dari orang tua. Bukan karena saya tak bersyukur. Tapi, karena saya sadar bahwa usia saya yang sudah menginjak usia produktif ini seharusnya sudah bisa menghasilkan uang sendiri, apalagi kondisinya sekarang sudah beristri. Merepotkan orang tua justru malah menyiksa batin dan mengganggu kelancaran studi. Tak jarang saya secara tidak sadar menghabiskan waktu untuk merenung dan melakukan hal yang tidak jelas disebabkan saya bingung. Bingung harus mendahulukan cari sumber uang dulu atau menuntaskan tugas akhir dulu. Menuntaskan tugas akhir jelas berkonsekuensi saya harus bermuka tebal meminta uang ke orang tua jika ada perlu. Mendahulukan cari sumber uang juga punya bayarannya, yaitu saya akhirnya menunda mengerjakan keperluan studi.

Saran dari berbagai pihak adalah fokus tuntaskan studi agar bisa segera pulang. Tak apa sementara masih bergantung pada orang tua, tapi nanti setelah lulus, tidak perlu lagi merepotkan. Ini adalah hal berat bagi saya. Saya tahu kalau kebutuhan keluarga bukan hanya untuk seorang Rajih, tapi juga untuk keperluan di rumah serta sekolah adik-adik yang juga tidak sedikit biayanya. Makanya ada sisi hati saya yang masih memunculkan keraguan melakukan saran ini. Dan lagi, saat dilema berada di puncak kebingungannya, saya hanya bisa banjir air mata, menengadahkan tangan kepada yang maha kuasa. 

Jadi, jika anda mengira bahwa kuliah di luar negeri itu mudah, kuliah dengan biaya sendiri itu berarti sudah sangat berkecukupan, mohon maaf. Agar tidak asumtif seperti itu, alangkah lebih baik jika anda sendiri yang mencobanya. Atau cobalah untuk menyadari bahwa kondisi setiap orang berbeda-beda dan sulit untuk disamaratakan, terlebih penyamarataannya adalah dengan orang yang sangat berprestasi. Mungkin orang yang kuliah dengan biaya sendiri itu nampak santai aja. Mungkin orang seperti saya dengan perawakan tubuh yang semakin bengkak ini pertanda saya betah-betah aja, santai-santai aja, atau malas-malasan tak tahu tujuan. Tunggu. Anda hanya belum mengerti apa yang saya lalui untuk bisa bertahan dengan segala lika-liku dan tekanan. Dan belum semua saya ceritakan di sini. 

Bisa menjadi mahasiswa di kampus ini saja rasanya saya sudah bersyukur. Saya coba jalani sebisa saya dan semoga Allah memberikan kemudahan agar saya bisa segera selesai di awal tahun depan. Aamiin.

Komentar

  1. Kita senasib bro.
    Semoga dimudahkan dalam segala urusan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kita senasib bro, memang tidak mudah, banyak kali dramanya,
      semoga dimudahkan bro

      Hapus
  2. MasyaAllah perjuangan yang luar biasa, semoga studi Mas Rajjih diberi kelancaran di mudahkan jalannya dan di kuatkan hatinya

    BalasHapus
  3. Kubaca semua tanpa ada kata yang terlewatkan. Mantap semangat mas rajihhh.. everything will be OKE

    BalasHapus
  4. Semangat Mas Rajih 🫡

    BalasHapus

Posting Komentar

Komentarin ya! Saya seneng banget kalau dikomentarin. Terima Kasih :)