IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

Belajar dari Perantau Pekerja Indonesia di Malaysia

Anggota RQV (Rumah Quran Violet) Permai Penang, yang merupakan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Penang Malaysia, berpose usai kelas belajar Al-Qur'an 

Bertemu dengan bapak ibu dan teman-teman yang bekerja di luar negeri membuat mata saya semakin terbuka lebar. Ternyata, perjalanan mereka sungguh menarik, mencengangkan, juga beragam. Foto di atas merupakan salah satu dari banyaknya kegiatan para perantau pekerja migran Indonesia yang bisa saya tangkap. Mengingatkan saya bahwa teman-teman yang harus bekerja 8-12 jam sehari di pabrik, masih sempat-sempatnya meluangkan waktu untuk belajar menghafal Al-Qur'an, bahkan beramai-ramai. Semoga tulisan ini bisa membantu menambah pengetahuan anda mengenai pekerja migran Indonesia atau perantau yang sedang berjuang di luar sana. 

Perjalanan saya bersama para perantau di Malaysia dimulai bahkan sejak minggu pertama berada di bumi Penang. Waktu itu, Pak Mudzakkir (salah seorang senior di USM, kini beliau adalah salah satu pimpinan di Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur & di Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah), mengenalkan saya ke salah seorang perantau Indonesia di Penang, yaitu Pak Agung Priatin, seorang kelahiran Lamongan yang besar di Solo, lalu merantau ke Malaysia sejak tahun 2005. Pertemuan kami berlanjut dengan makan siang bertiga dan membahas terkait topik-topik terkini. Sesekali kami juga mengobrol tentang perkenalan satu sama lain. 

Singkat cerita, Pak Agung mengajak saya untuk berkunjung ke sekretariat sebuah NGO (non-government organization) yang beliau merupakan bagian di dalamnya, yaitu PERMAI (Pertubuhan Masyarakat Indonesia) Pulau Pinang. Di situlah saya semakin intens bertemu dengan banyak kawan-kawan serta bapak ibu perantau dari berbagai latar belakang. Berjumpa juga dengan Pak Khozaeni (biasa dipanggil Pak e), salah satu leader di PERMAI, serta pengurus PERMAI lainnya seperti Pak Didi, Pak Mukhotib, Mas Arif, dan masih banyak lagi, termasuk presidennya Pak Eddy Virgo. 

Yang terasa kala itu adalah ternyata bertemu dengan masyarakat Indonesia di Penang adalah keseruan tersendiri, bahkan sebagai sosiolog muda, saya merasa wajib untuk memperbanyak berkesimpung dengan kehidupan beliau-beliau yang luar biasa ini. Dari perantau, saya bisa mengambil banyak pelajaran dan motivasi, di antaranya adalah semangat berbuat baik untuk sesama serta tekad yang kuat untuk belajar.

Nugas bareng di salah satu sudut meja belajar USM bersama Pak Agung (kiri) dan Hanif (kanan, mahasiswa master di CPR juga). Pak Agung juga sedang menempuh kuliah, yaitu S-1 Ilmu Komunikasi di Universitas Terbuka (UT) Pokjar Penang. Semangat belajar yang cukup memotivasi saya untuk juga tak pernah lelah belajar.

Siapa sangka, setelah beberapa bulan menjalani proses studi master dengan topik penelitian tentang pesantren Gontor, Covid datang melanda. Akibatnya, saya terpaksa kehilangan akses ke sumber data (Gontor) dan tidak bisa pulang ke Indonesia. Mau tidak mau, harus pindah haluan topik. Setelah berdiskusi panjang dengan pembimbing, tercetuslah ide untuk meneliti perantau, yaitu bapak ibu dan teman-teman pekerja migran Indonesia di Penang. 

Inilah hal yang membuat interaksi saya semakin intens dengan para perantau. Pendekatannya beragam, baik melalui kegiatan formal, ngopi, maupun silaturahmi kelembagaan. Saya juga pada akhirnya mendekati literatur tentang merantau, Indonesian migrant workers, dan metodologi terkait. Dengan bantuan Pak Agung, Pak e dan kawan-kawan serta Bapak Ibu perantau lainnya, saya bisa melalui proses studi master yang panjang ini. Sekarang menunggu jadwal ujian.

Bukan hanya di PERMAI Penang, interaksi saya terus berkembang ke banyak komunitas seperti PRIM (Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah) Pulau Pinang, MWCI (Majelis Wakil Cabang Istimewa) NU Pulau Pinang, komunitas-komunitas lain serta para perantau yang tidak tergabung di komunitas. Di PRIM Penang, saya bertemu dengan Pak Siyat, Pak Dimas, Pak Kasto, Almh. Bu Tunik, Bu Suharni, Bu Poni, sertta beberapa yang juga saya temui di PERMAI seperti Pak Edi dan Bunda Nurul.

Apalagi sejak bergabung di IMM Malaysia, saya semakin sering ke Kuala Lumpur dan menambah banyak interaksi dengan Bapak Ibu perantau pekerja Indonesia, khususnya yang tergabung di Muhammadiyah.

Ikut nimbrung sebagai panitia di acara Baitul Arqam Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia di tahun 2023

Di tulisan ini, saya ingin menyampaikan beberapa poin penting dari sekian banyak pelajaran yang didapat dari mempelajari perantau.

Nilai dan Identitas

Perantau bukan sekadar orang yang pergi dari tempat asal ke tempat lain untuk tujuan tertentu seperti kerja atau studi. Lebih dari itu, perantau kerap membawa nilai dan identitas. Pada etnis tertentu, seperti Minang dan Bugis, merantau adalah bagian dari kultur yang sudah terlembaga. Tapi kali ini, bukan itu yang saya soroti. Nilai yang saya maksud adalah kepedulian pada keluarga, kemakmuran, serta tekad yang tinggi menerjang tebing ketidakmungkinan. 

Kebanyakan perantau yang saya temui adalah individu yang ingin menyejahterakan keluarga di rumah. Ini tertulis jelas di thesis saya pada bagian the initial thoughts on being perantau, bahkan di urutan kedua setelah keinginan meningkatkan ekonomi. Kondisinya beragam, ada seorang suami yang harus mencari nafkah untuk keluarga, ada juga seorang anak yang tak tega melihat kondisi orang tuanya dan harus mengambil peran meningkatkan taraf hidup keluarganya, atau seorang ibu single parent yang harus menafkahi anak-anaknya. 

Meskipun sebetulnya banyak kondisi yang membuat seseorang pergi merantau, kondisi keluarga inilah yang cukup kuat membangun situasinya, apalagi juga karena alasan ekonomi. Hal-hal tersebut menggambarkan bahwa perantau juga membawa nilai perjuangan untuk kesejahteraan keluarga, serta identitas masing-masing baik sebagai ayah, ibu, atau anak yang mereka pertaruhkan.

Bahkan, pemberian untuk keluarga (familial giving) yang juga diiringi dengan kesyukuran spiritual (spiritual gratitute) adalah dua pilar kembar yang mengokohkan semangat merantau mereka walaupun harus jauh dari keluarga (Baca artikelnya di buku Pembangunan Sosial: Isu & Dinamika).  

Tantangan dan Rintangan

Tentu banyak tantangan dan rintangan yang para perantau temui di perjalanan mereka. Yang paling jelas adalah ketika proses pergi ke tanah rantau, masa-masa adaptasi, juga bagaimana harus memulai pekerjaan dengan keringat dan berlelah-lelah.

Dari hasil studi saya, tidak sedikit dari para perantau yang pergi ke Malaysia melalui jalur yang menantang, antara hidup dan mati. Karena keterbatasan informasi serta biaya, mereka harus menempuh jalur ini, yaitu dengan diawali perjalanan darat sampai Riau, atau juga Medan, lalu berlanjut dengan menyeberang Selat Malaka menggunakan sampan. Bukan sekadar berlayar biasa, tapi dengan satu sampan isi hingga 40 orang, beserta muatannya. Dari data kualitatif yang disampaikan, di tengah-tengah lautan berombak, ketar-ketir antara hidup dan mati makin terasa tatkala air sudah hampir masuk ke dalam sampan. Selamat tidaknya, hanya berpasrah pada Yang Maha Kuasa. 

Turunnya pun bukan di daratan Malaysia, tapi masih di perairan dengan lumpur setinggi dada. Ini demi keselamatan mereka dan pemilik sampan dari penangkapan polisi. Setelah diturunkan dari kapal, si pemilik sampan segera ngacir dan para perantau harus berjalan menuju tepi pantai sambil mengangkat barang bawaan mereka. Kalau bisa kebawa, syukur, kalau tidak, tentu saja sudah hanyut barang-barangnya, sehingga sampai daratan hanya tinggal manusianya dan baju yang dikenakan saat itu saja. Walaupun begitu, tentu tetap ada yang menggunakan jalur lebih manusiawi, terutama bagi perantau yang sudah mendapatkan informasi lebih lengkap serta akses pembiayaan dan administrasi yang lebih mumpuni.

Proses adaptasi juga membutuhkan waktu. Tak sedikit yang belum terbiasa dengan makanan di Malaysia. Perlu beberapa bulan hingga terbiasa. Saya sendiri pun begitu walaupun tidak lama prosesnya. Bahasa dan kultur juga perlu diadaptasikan agar dapat bertahan selama di tanah rantau Malaysia. 

Dari segi pekerjaan, banyak yang memulai menjadi pekerja bangunan berupah harian. Hal ini wajar terjadi karena, mohon maaf, keterampilan yang dimiliki saat awal merantau masih terbatas, atau dalam literatur kerap disebut low-skilled workers. Walaupun harus bekerja fisik berat, berpanas-panasan, kapasitas dan pengetahuan para perantau semakin meningkat. Salah seorang perantau bahkan sangat lihai membaca gambar perencanaan bangunan, padahal tidak sekolah arsitek sama sekali. 

Ada juga perantau yang memang sudah jelas tempat tujuan bekerjanya, bisa di suatu pabrik atau di perusahaan tertentu. Hal ini karena sejak awal sudah membidik pabrik atau perusahaan tersebut dan melamar melalui agensi yang ada di Indonesia. Dengan begitu, administrasi dan pembiayaannya dapat lebih terkelola.

Kegiatan yang Positif dan Menarik

Sebagai perantau yang bekerja, ternyata aktivitasnya bukan hanya di pusaran kerja-pulang-kerja-pulang. Para perantau juga melibatkan diri di komunitas-komunitas. Di Malaysia, saya menemukan ada berbagai macam paguyuban, organisasi dan komunitas masyarakat Indonesia dengan beragam nama. Anda bisa mengecek di laporan KJRI (jika ada, seharusnya sih ada). PERMAI Penang adalah salah satunya. Setiap perkumpulan selalu memiliki kegiatan positif nan menarik.

Sebagai contoh, PERMAI Penang mengadakan kursus bahasa Inggris yang bekerjasama dengan English Academy Bengkulu, Quran Academy, sampai sekolah untuk anak-anak Indonesia yang orang tuanya tak berdokumen dengan nama Sanggar Bimbingan Permai Penang. 

Salah satu momen kelas belajar Bahasa Inggris di PERMAI Penang

Muhammadiyah dan NU juga mengadakan kegiatan seperti pengajian, silaturahmi antar anggota, dan agenda-agenda rutin keorganisasian. Masih banyak lagi dan sangat bisa dijelajah lebih dalam, khususnya oleh sosiolog.

Pengajian PRIM Penang. Kebetulan Pak Mudzakkir sebagai pembicaranya.

Foto di awal (paling atas) adalah salah satu kegiatan positif di PERMAI Penang yang mewadahi teman-teman perantau perempuan untuk belajar menghafal Al-Qur'an. Saat itu, saya hanya menyimak saja dari belakang sembari mempelajari bagaimana teman-teman perantau berkegiatan. 

Cita-cita, Harapan dan Doa

Sebagai perantau, tentu beliau-beliau ini memiliki cita-cita luhur, serta harapan dan doa yang selalu dipanjatkan. Saya menangkap bahwa kesejahteraan keluarga menjadi salah satu bagian penting dari tujuan perjalanan jauh yang mereka tempuh ini. Naiknya kualitas hidup serta taraf ekonomi keluarga, berhasilnya anak-anak mereka mengenyam pendidikan serta mengakses kesejahteraan yang lebih tinggi dan layak, juga pencapaian-pencapaian besar lain adalah bagian dari yang dicita-citakan dan didoakan. 

Selain itu, ada hal penting yang juga saya identifikasi, yaitu tekad untuk membantu sesama orang Indonesia, baik yang di Indonesia, maupun yang datang ke Malaysia. Berharap bahwa semangat kebaikan mereka juga menular ke manusia-manusia Indonesia lain baik di dalam maupun saat di luar negeri.

Sebagai sosiolog muda yang masih perlu banyak belajar, kesempatan untuk bisa mempelajari lagi lebih dalam tentang perantau adalah salah satu harapan dan doa yang serius. Berkaitan dengan kesejahteraan para perantau, semoga pemerintah juga tetap menaruh perhatian besar akan hal ini. Saya juga berharap para akademisi bisa berkolaborasi dengan apik bersama para perantau. Kolaborasi apik ini bermakna "saling belajar", bukan saling menggurui. Yang akademisi tidak merasa paling tinggi, yang perantau juga tidak merasa tinggi karena paling berpengalaman di lapangan. Semua saling melengkapi. 

Saya juga mengajak para sosiolog serta akademisi dari disiplin ilmu lain untuk ikut mempelajari lebih dalam, bukan sekadar melakukan kegiatan seremonial. Banyak pelajaran yang bisa didapat dari para perantau. Untuk para perantau, seperti yang saya tulis di thesis, you are our hero! 

Komentar